Di
pagi hari yang cerah, aku duduk di sebuah kamar yang menjadi saksi bisu
perjalanan hidupku selama hampir 17 tahun. Ditemani iringan musik yang mendayu,
aku memulai aktivitas. Inilah pagi yang biasa aku lakukan ketika di rumah, di masa
liburan semester pertamaku di tingkat universitas. Namun pagi ini ada sesuatu
yang membuat pikiran dan perasaanku tertuju pada satu hal. Hal tersebut adalah
kerja keras seorang pedagang gulali di sebuah sekolah.
Aku
teringat ketika pertama kali masuk sekolah dasar(SD) yaitu SD N Wonosari V pada tahun 2000, sebuah
sekolah dasar yang terletak tepat di sebelah timur alun-alun Kota Wonosari.
Saat itu aku diantar bapak bersama kakakku yang masih duduk di kelas 5. Seperti
biasa aku sebagai murid baru di sekolah itu, tengak-tengok seakan berusaha
mengenal situasi di SD itu, termasuk penjual jajanan yang ada. Meskipun uang
saku dari orangtua terbilang sangat sedikit dibanding teman-temanku, aku tetap merasa senang. Salah satu hal yang
membuat aku senang adalah kehadiran seorang kakek tua yang menjajakan gulali
dan mainan.
Kakek
itu mengangkat beban yang kurasa cukup berat. Satu kotak berisi jajanan gulali
dan satu kotak berisi mainan. Dengan sepotong bambu yang diletakkan diantara
kedua kotak itu, si kakek mengangkat barang yang akan dijajakannya itu. Di
waktu istirahat pertamaku ketika SD, aku menghampiri sang kakek, berniat untuk
membeli gulali. Yah...meskipun tidak setiap hari aku ke sana, tetapi jajanan
itu lah yang sering aku beli ketika SD, mengingat keterbatasan budget. “Jantung
sehat!” itulah kalimat yang beliau ucapkan dengan nada tinggi ketika ada anak
sekolah lewat di depannya. “Gulali iki
enak le, ra kaya sing dodol liyane. Arep dicap apa? Pocong, manuk, utawa
jagung?” Ketika aku membeli, juga tak lepas gaya kocak sang kakek.
Kakek
itu telah menghiasi halaman depan SDku selama aku bersekolah di sana. Bahkan
dalam waktu yang lebih lama sebelum aku memulai belajar di SD, karena kakakku
yang sekolah lebih dulu telah mengenal kakek itu lebih lama. Ketika lulus SD,
aku masuk SMP N 1 Wonosari. Di masa awal masuk SMP , aku tetap sesekali
mengunjungi SDku. Aku ingat pada kakek si penjual gulali dan mainan yang biasa
aku kunjungi. Di pikiranku, mungkin kakek itu sudah tak berjualan lagi,
mengingat usia yang tak lagi muda, seakan ingin menikmati masa tuanya. Tetapi
ternyata masih tetap setia dengan apa yang dijualnya. Aku pun tak lupa untuk
membeli gulali buatannya.
Ketika
aku SMP, aku mendengar bahwa lokasi SD ku dipindah lokasinya menjadi di sebelah
barat daya, sekitar 700 m. SDku dilebur bersama SD N Wonosari III. Harapanku,
nama SD itu akan tetap almamaterku, SD N Wonosari V. Namun ternyata kenyataan
berkata lain, peleburan SD itu menghasilkan sebuah nama baru, dan namanya
benar-benar baru, yaitu SD N Wonosari Baru. Sebuah nama yang sangat asing di
telingaku. Sementara itu, lokasi lama SD N Wonosari V, ternyata diambil untuk
perluasan SD yang saat itu berbatasan langsung dengan SDku, yaitu SD N Wonosari
I. Pemindahan lokasi ini sebenarnya bukan masalah, tapi masalah yang timbul
adalah kemana ribuan alumni yang telah dihasilkan SD N Wonosari V akan
menunjukkan pada temannya tentang sekolah dasar dimana tempat ia belajar.
Termasuk aku. Akankah mengatasnamakan SD N Wonosari Baru? Atau mengatakan bahwa
almamater SDku sudah tidak ada? Tinggal saksi bisu, berupa gedung almamater SD
ku yang sampai saat ini berdiri kokoh.
Setelah
lulus dari SMP N 1 Wonosari, aku melanjutkan sekolah di SMA N 1 Wonosari. Di
sekolah inilah aku berusaha mengerucutkan cita-citaku yang awalnya masih sangat
banyak. Saat itu adikku juga masuk sekolah dasar. Bukan SD N Wonosari V, bukan
juga SD N Wonosari Baru, sebagai nama baru almamater SDku, tetapi orangtuaku
memilih memasukkan adikku di SD N Wonosari VI. Mungkin jika SD N Wonosari V
masih ada, adikku akan dimasukkan sesuai SD dimana kakak-kakaknya telah
mendapatkan ilmu di sekolah itu.
Setelah
lulus SMA, aku masuk di Jurusan Teknik Geodesi Universitas Gadjah Mada. Sebagai
kakak, di masa kuliah, aku kadang-kadang menjemput adikku, ketika aku libur.
Membangkitkan memoriku tentang masa-masa SD yang telah berlalu. Termasuk kakek
si penjual gulali, yang biasa berkata “Jantung sehat!! Arep cap pocong, manuk, utawa
jagung le/ nduk?”.
Di
masa liburan di semester pertamaku inilah aku menemui kakek penjual gulali itu,
kembali. Adikku yang sekarang duduk di kelas 4, sering menceritakan bahwa di
sekolahnya ada kakek penjual gulali yang
sering berkata, “Jantung sehat!!”. Lalu ketika aku menjemputnya, aku meminta
adikku mengantarkanku ke si kakek itu. Dipikiranku, mungkin bukan kakek penjual
gulali yang biasa menghiasi halaman depan almamater SDku. Tetapi ketika sampai
di tempat jualan gulali, sesuai yang ditunjukkan adikku, aku langsung tahu
bahwa ternyata beliau adalah kakek yang dulu menghiasi halaman depan SDku. Sama
sekali tak menyangka kalau kakek itu masih setia dengan dua kotak, satu kotak
untuk gulali, dan satu kotak lainnya untuk mainan. Saat itu aku langsung
bertanya kepada kakek itu, “Mbah, taksih
kemutan kalian kula boten nggih?”. Kakek itu langsung melihat aku dan
bertanya, “Lah yo kelingan to le, ning aku lali jenenge sapa?” Hehe, itu lah
yang membuat trenyuh peraaan ini. Seorang
kakek yang menghiasi halaman SDku, sampai saat ini masih memperjuangkan
hidupnya dengan mengangkat dua kotak yang ia angkat dengan potongan bambu dan
masih mengingatku. Lalu aku menjawab, “Kula
niku Bondan mbah, rumiyin sering tumbas gulali, menika taksih ten SD N Wonosari
V”. “Oalah, sing kae, kelingan aku
le, aku kelingan rai nanging ora kelingan jeneng je”, kakek itu menjawab.
Setelah sedikit obrolan, aku pun tak lupa membeli gulali yang mengingatkanku
ketika aku masih berseragam merah putih. “Mbah,
kula tumbas gulali, cap jagung nggih”. Kakek itu tersenyum kepadaku, dan
bergegas mengambilkan gulali untukku. Tak lupa beliau berkata, “Gulali iki enak le, ra kaya sing dodol
liyane. “ Sesuatu yang membuat aku tersenyum karena masih melihat kekocakan
dan semangat kakek itu, sekaligus membuat aku trenyuh ketika harus melihat tubuh kakek yang tua yang seakan ingin
merasakan nikmatnya masa tua.
Perjuangan
hidup kakek penjual gulali itu telah memberikan banyak inspirasi buat aku,
bahwa perjalanan hidup adalah sebuah pengorbanan. Pengorbanan untuk diri
sendiri dan juga orang lain. Kadang kita nggresula tentang hidup yang kita
jalani, tetapi kita tak melihat kondisi orang lain seperti apa. Kuncinya
adalah, mensyukuri hidup. Terimakasih kakek penjual gulali...semoga hidupmu
selalu dalam lindungan-Nya.
13 Ferbuari 2013
Bondan Galih Dewanto
mantap bond,,jgn lupa berknjung ke blogku juga
BalasHapushehe, iyo sap, tenang wae lah.
BalasHapus