17
Agustus. Aku agak lupa tahunnya berapa, yang kutahu saat itu aku masih kecil.
Seperti menjadi sebuah kebiasaan, keluargaku setiap tahun di hari itu, pasti
menyempatkan diri untuk melihat upacara Hari Kemerdekaan Indonesia di Istana
Negara, Jakarta, melalui televisi. Aku diberi tahu bahwa 17 Agustus adalah Hari
Kemerdekaan Indonesia. Layaknya anak kecil yang ingin tahu, aku pun banyak
bertanya kepada orangtuaku. Dari menanyakan Agustus itu apa sampai merdeka itu
apa, termasuk siapa yang memakai pakaian putih dengan lambang garuda di
pecinya.
Kemudian,
bapakku menjelaskan beberapa hal yang kutanyakan itu. Sedikit lebih panjang
saat menjelaskan putra-putri yang memakai seragam putih berlambangkan pin
garuda di pecinya. Bapakku menjelaskan bahwa itu hanyalah anak-anak pilihan
yang bisa memakai seragam putih dengan pin garuda di pecinya. Anak-anak itu
adalah anak-anak yang cinta Indonesia , kata beliau. Aku yang masih belum mengerti makna “pilihan”, dari
penjelasan bapak, aku hanya bisa mengangguk saja. Tapi saat itu, keluar kalimat
dari mulutku, “Bapak, aku pengen jadi itu, pengen pakai garuda di peci, aku
juga pengen pegang kain yang warnanya merah putih itu di istana negara.”
Bapakku tersenyum, dan menjawab, “Ya le...besok kalau kamu udah besar.” Akupun
langsung loncat-loncat, senang sekali mendengar bapak yang mengiyakan
perkataanku. Ibu dan kakakku pun saat itu tersenyum, sayangnya adikku belum
dapat berkomentar karena memang belum lahir di dunia.
Saat
aku kelas 4 SD, aku mendapat informasi dari salah satu guruku jika di
sekolahku, SD N Wonosari V, ada latihan baris-berbaris. Banyak sekali
teman-temanku yang antusias ingin mengikuti kegiatan tersebut, termasuk aku.
Sekolahku mempersiapkan ini untuk mengikuti perlombaan baris-berbaris tingkat
kabupaten di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tetapi, mungkin karena
aku yang belum terlalu mengerti setiap gerakan yang dilakukan, maka aku tak
diikutkan dalam lomba itu. Setauku, memang yang mengikuti lomba itu sebagian
besar adalah murid kelas 5 dan 6.
Dari
pengalaman di SD, aku membawanya ke SMP, SMP N 1 Wonosari. Tak jauh beda
ternyata, ada seleksi yang harus dilewati sebelum bisa bergabung dengan tim
baris berbaris, yang namanya adalah tonti (pleton inti). Kali ini aku nggak
akan menyianyiakan kesempatan, aku harus berlatih keras untuk dapat masuk dalam
anggota tonti. Setelah melalui beberapa tahap seleksi, akupun lolos, masuk
menjadi salah satu anggota Pleton Inti SMP N 1 Wonosari. Di sini, aku pun
menjadi bagian saat tonti SMP N 1 Wonosari, berhasil menjadi juara 1 tingkat
kabupaten, dan berhak mewakili Gunungkidul di tingkat provinsi.
Aku
kembali teringat ucapanku ke keluargaku saat aku masih kecil, “Bapak, aku
pengen jadi itu, pengen pakai garuda di peci, aku juga pengen pegang kain yang
warnanya merah putih itu di istana negara.”
Modal yang bagus saya rasa menjadi tonti SMP ku. Namun aku juga merasa
jika hal itu belum cukup. Aku harus menambah pengalaman di SMA. Lagi dan lagi,
ternyata ada tahap seleksi yang harus kulalui untuk dapat masuk tonti SMA N 1
Wonosari. Banyak teman yang ingin bergabung, tapi Alhamdulillah aku lolos.
Latihan demi latihan kulalui, termasuk macam-macam perlombaan baris berbaris.
Sekitar
bulan Januari 2010, aku mendapat informasi bahwa pada bulan Maret di tahun yang
sama akan ada seleksi paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka). Demi
mewujudkan ucapanku ke keluarga, aku berlatih dengan keras. Seleksi demi
seleksi yang kulalui, mengantarkanku pada seleksi tingkat nasional.
Pada
seleksi tingkat nasional ini, aku dipertemukan dengan teman-teman yang mewakili masing-masing kabupaten di DIY.
Saat itu aku pun mulai minder, manakala mendengar tinggi badan minimal untuk
dapat mengibarkan merah putih di istana negara adalah 175cm, sementara aku saat
itu bertinggi badan kurang 2cm dari tinggi minimal tersebut. Apalagi dari tiap
provinsi di Indonesia, hanya di ambil 2 perwakilan putra dan putri. Tapi aku
tak patah semangat, tampil maksimal yang harus kulakukan. Seleksi ini berjalan
2 hari 1 malam, meliputi pengetahuan umum mengenai Indonesia, sampai pada
atraksi kesenian budaya. Yang membuat aku optimis aku lolos adalah ketika
seorang panitia seleksi mengatakan kepadaku, “Bondan, aku tunggu kamu di BPO.”
Usut punya usut, ternyata BPO adalah tempat pembekalan calon paskibraka
nasional dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun, 2 hari 1 malam adalah waktu yang cukup
pendek menurutku untuk mengenal karakter setiap peserta seleksi.
Dagdigdug
rasanya menunggu pengumuman . Sampai pada akhirnya pengumuman seleksi tingkat
nasional itu pun datang. Dan yang lolos dari DIY
adalah..............jengjengjeng........perwakilan dari Kabupaten Sleman dan
Kulonprogo. Aku ternyata belum diberi kesempatan dari Yang Maha Kuasa untuk
pergi ke istana negara sebagai pengibar bendera pusaka. Aku pun harus bersiap
bertugas di Gedung Agung, Yogyakarta. Ya, rasanya memang cukup sedih, tapi aku
nggak boleh terlalu sedih apalagi sakit hati, karena aku yakin mengibarkan
bendera di manapun kita berada, entah itu di sekolah, kabupaten, provinsi,
maupun nasional adalah sama-sama demi dan untuk Indonesia.
Gedung Agung, Daerah Istimewa Yogyakarta
Untuk
mengobati rasa kecewa, aku menelusuri seluk beluk Gedung Agung, Yogyakarta.
Ternyata tempat ini pernah menjadi tempat paskibraka nasional di kala
pemerintahan Republik Indonesia berpusat di Yogyakarta, tahun 1946- 1949. Rasa
bangga pun menyelimuti hatiku, menutupi kesedihan ditundanya aku ke istana
negara. Dalam hati aku berkata, “Aku punya kesempatan untuk dapat mengibarkan
bendera pusaka di tempat yang memiliki historis tinggi bagi Republik Indonesia”.
Saat
pemusatan latihan, ada beberapa tempat yang menjadi lokasi latihan, diantaranya
adalah Ambarbinangun, alun-alun selatan, dan tentunya Gedung Agung. Ketika bersama
teman-teman yang lain, aku sering bertanya pada teman-teman mengenai alasan
mereka ingin menjadi paskibraka. Ada yang menjawab ingin menjadi polisi. Ada
juga yang menjawab ingin menjadi TNI. Aku bangga pada mereka yang menjadikan
itu semua sebagai dasar sebagai pembela negara di bidang polisi dan TNI. Namun,
niat awalku menjadi paskibraka adalah ini sebagai bukti bahwa aku cinta
Indonesia, di masa SMA. Tak terbesit sedikitpun untuk menjadi polisi atau TNI.
Aku ingin menbawa pelajaran dan pengalamanku saat pemusatan latihan ini di
bidang lain. Aku ingin menjadi insinyur. Insinyur yang benar-benar mengabdikan
ilmunya untuk Indonesia. Itu tujuanku.
Peta Gedung Agung, Daerah Istimewa Yogyakarta
Aku sangat
senang dapat menjadi bagian dari pasukan pengibar bendera di Provinsi DIY tahun
2010, karena aku bisa mengenal orang-orang yang selama ini belum aku kenal.
Menjadi lebih tahu bahwa masih banyak orang-orang yang tulus mencintai
bangsanya, Indonesia. Selain itu, senang pula bisa bertugas mengibarkan Sang
Pusaka di Gedung Agung, tempat yang pernah menjadi istana negara pada tahun 4
Januari 1946 hingga 27 Desember 1949, yang memiliki historis tinggi bagi Indonesia.
Dan yang pasti, Gedung Agung adalah tempat yang akan selalu ada di
hatiku. Karena, ini adalah awal.
#Banyak cerita yang ada di dalam
pemusatan latihan Paskibraka Provinsi DIY tahun 2010. Bagi teman-teman yang
pengen tahu, bisa dibuka di link ini : http://bondangalih.blogspot.com/2013/01/kisah-indah-kita-bersama_16.html
Terima kasih, semoga bermanfaat.
24 Februari 2013
Bondan Galih Dewanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar