Bagi
sebagian orang, terjun berlumpur-lumpur dan menghirup bau anyir mayat adalah
hal yang sangat menjijikkan. Namun tidak bagi relawan bencana seperti SAR, TNI,
POLRI, dan kami relawan dari Teknik Geodesi UGM. Cerita ini berawal dari sebuah
telepon yang bordering pada Selasa 16 Desember 2014. Ketika itu Pak Ruli
Andaru, salah satu dosen saya, menelpon saya. Beliau menawarkan kepada saya
untuk ikut dalam tim studi bencana utusan dari UGM pergi ke lokasi bencana
tanah longsor di Banjarnegara. Dalam hal ini saya langsung menanyakan, apa
tugas saya? Dan ternyata beliau menjawab akan membuat 3D bentuk lokasi bencana.
Ada kemungkinan kita dapat mengukur volume longsoran, apabila diketahui volume
sebelum terjadinya longsor.
Untuk menuju tujuan, diperlukan titik GCP (Ground
Control Point) sebagai titik ikat yang diukur menggunakan GPS Geodetik. Setelah
GCP selesai, dipotretlah dengan UAV (Unmanned Aerial Vehicle). Awalnya saya
ragu apakah akan menerima tawaran tersebut atau tidak. Pertama, karena saya
masih belum mahir memegang alat-alat tersebut, bisa dibilang masih dangkal,
karena mengambil mata kuliah survey GNSS saja baru semester ini. Kedua, saat
itu sedang akan menghadapi masa ujian pada hari Senin 22 Desember 2014. Ketiga,
saya harus pergi ke Surabaya pada Sabtu 20 Desember 2014 menghadiri musyawarah
nasional IMGI (Ikatan Mahasiswa Geodesi Indonesia). Namun tawaran ini pun saya
piker tidak mungkin saya lewatkan begitu saja. Dengan diyakinkan Pak Ruli bahwa
aka nada briefing sebelum ke lapangan, saya pun akhirnya memutuskan untuk ikut
ke Banjarnegara. Ya, selain ini tugas dari kampus yang harus dijalani, saya
juga dapat memperdalam kemampuan saya dalam penggunaan alat-alat tersebut dan
tentunya berbagi dengan sesama sebagai misi kemanusiaan. Kencangkan ikat
pinggang, tatap ke depan, terima tantangan, ini misi kemanusiaan!!
Persiapan tim
Persiapan
pun dilakukan pada hari Rabu 17 Desember 2014. Tim ini terdiri dari Bapak Ruli,
Bapak Iqbal, Mas Adon, Kevin, Sapta, dan saya. Dari pagi hari, kami sibuk
mempersiapkan alat-alat yang akan dibawa. 5 buah GPS Geodetik dan
kelengkapannya kami siapkan. Pesawat UAV pun tak luput dari perhatian. Briefing
penggunaan alat dilakukan seketika setelah alat-alat disiapkan. Memastikan
bahwa kami tidak lupa dalam penggunaan alat, hehe. Selain dari alat, kami juga
merencanakan jalur terbang dari pesawat UAV yang akan diterbangkan untuk
memotret dari udara. Saat itu aplikasi yang digunakan adalah google earth untuk
plotting rencana titik dan pembagian sesi pengukuran, dan global mapper untuk
mengukur luas area yang akan kita kerjakan. Dan dari hasil perencanaan, areanya
adalah sekitar 1000ha. Sampai sore sekitar pukul 16.00 WIB kami persiapan
segala hal untuk pergi.
Rencananya
kami berangkat hari Rabu malam hari, namun dengan pertimbangan tidak ada
penginapan, kami akhirnya memutuskan berangkat pada hari Kamis 18 Desember 2014
dini hari, sehingga ketika sampai lokasi, langsung data bekerja. Seketika
sampai di lokasi sekitar pukul 08.30 WIB, kami mulai membagi tim ini dalam 5
titik GCP. Langsunglah saya siapkan alat-alat yang digunakan. Metode yang
digunakan untuk mengukur koordinat titik ini adalah metode static, mengharuskan
semua titik siap terlebih dahulu kemudian klik mulai bersamaan. Perlu sekitar 2
jam untuk moving dan mempersiapkan alat-alat karena area yang dicakup cukup
luas. Di saat menunggu itu, saya melihat saya yang merupakan lokasi bencana.
Ada mobil ringsek di depan mata saya bekas yang ikut aliran longsor. Ada juga tebing yang sangat curam dan bisa
longsor sewaktu-waktu. Di sisi lain, saya lihat ratusan orang bergerak bersama
mencari korban-korban yang masih tertimbun longsoran tanah. Kondisi tanah yang
berlumpur tak menyurutkan nyali untuk terus mencari. Saya juga sempat ngobrol
dengan salah seorang TNI yang sedang menjadi relawan, bahwa beliau memang
sering terlibat dalam aktifitas seperti ini. “Ini adalah bentuk pengabdian saya
sebagai abdi negara mas”, beliau berkata seperti itu. Satu kata saja, SALUT
untuk para pejuang kemanusiaan. Seperti itu sepenggal obrolan di saat menunggu
semua alat siap. Sekitar pukul 10.30 Pak Ruli mengkomunikasikan kepada tim
lewat HT bahwa pukul 11.00 WIB dimulai pengukuran. Sekitar 1 jam diperlukan
untuk pengukuran koordinat ini. Cuaca saat itu panas sekali dan langit cerah,
sangat kondusif untuk pengukuran. Sekitar pukul 12.00 kami akhiri sesi pertama.
Sampai selesai pun cuaca cukup kondusif. Rapikan alat, pindah ke titik GCP lain
untuk sesi kedua, itulah rencana kami. Namun cuaca sedemikian rupa cepat sekali
berubah. Mendung dalam hitungan menit menyelimuti lokasi bencana. Hujan sangat
lebat segera menyusul.
Pendirian GPS Geodetik
GPS Geodetik siap digunakan
Suasana di lokasi bencana
Dengan
karakteristik tanah di lokasi bencana yang sangat labil, tim relawan dari
berbagai instansi pun menarik diri dari lokasi untuk mencari tempat aman.
Kebetulan titik GCP saya merupakan titik berkumpul. Setelah berkumpul, kami
berdiskusi tentang kelanjutan pengukuran. Saya lalu ingat Kevin yang sudah
terlanjur pindah tempat ke titik GCP lain. Pak Ruli pun memutuskan untuk terus
lanjut melakukan pengukuran. Untuk mencapai titik GCP selanjutnya, tim harus
melewati jalan penuh lumpur. Dan ketika berjalan di atas lumpur kurang lebih
100m, ada jalan yang terputus. Menurut
relawan lain, lokasi putusnya jalan ini dekat tebing yang sangat rawan
longsor. Dan ternyata benar. Di lokasi ini ada semacam aliran air yang sangat
deras memutus akses jalan menuju titik Kevin berada. Saking derasnya, kami tak
berani melaluinya, karena kami juga membawa alat yang berat dan berharga tidak
murah tentunya. “Resiko terlalu besar untuk kita lalui”, begitu kata Pak Ruli.
Akhirnya beliau memutuskan untuk menunggu hujan reda. Sementara menunggu, kami
kembali ke titik dimana kami berkumpul tadi. Komunikasi tak putus putus dengan
Kevin untuk memastikan dia dalam kondisi baik-baik saja. Untung saja Kevin
bersama Pak Wahyudi, driver mobil yang begitu tangguh. Berulang kali kami mengecek
kembali lokasi putusnya akses jalan tadi. Hasilnya tetap saja, aliran deras
begitu terlihat di depan mata. Sampai pukul 16.00 WIB pun tak ada tanda-tanda
hujan akan reda. Kevin dan Pak Wahyudi masih di seberang jalan tak bisa lalui
akses jalan yang terputus. Akhirnya sekitar pukul 17.00 WIB, Pak Ruli mengambil
keputusan bahwa pengukuran dilanjutkan esok hari. Tapi kami kebingungan
bagaimana cara menjemput Kevin sedangkan jalur terputus. Ada 2 opsi, yaitu kita
menjemput Kevin dan Pak Wahyudi lewat jalur Dieng yang butuh waktu kurang lebih
3 jam perjalanan, atau meminta tolong tim relawan lain. Solusi kedua diambil.
Pak Ruli segera menelpon tim dari UGM yang lain untuk mengantarkan Kevin dan
Pak Wahyudi ke Wonosobo. Dan Alhamdulillah, tim tersebut merespon dengan baik
dan bermurah hati membantu kami. Sepakat, ketemu di Wonosobo menjemput Kevin
dan Pak Wahyudi. Menuju Kota Banjarnegara, kami mencari penginapan untuk
berteduh. Yang menjemput Kevin dan Pak Wahyudi akhirnya Pak Ruli dan Pak Iqbal.
Sementara saya, Sapta, dan Mas Adon tetap di penginapan. Dan akhirnya sekitar
pukul 20.30 WIB, tim kami kembali lengkap. Hari pertama yang begitu
mencengangkan untuk dilalui. Pengalaman pertama. Waawww
Akses jalan terputus
Seorang bapak mencoba mengalirkan batu
Hari
kedua, Jumat, 19 Desember 2014. Kami berangkat dari penginapan pukul 06.30 WIB.
Seperti biasa, kami di briefing terlebih dahulu. Untuk hari ini, selain pengukuran titik GCP
kembali, saya ditugaskan untuk membantu dalam hal pemotretan udara menggunakan
UAV. Tim menyebar, ada yang di lokasi longsoran bencana, ada juga di atas bukit
untuk menerbangkan UAV. Dengan tugas membantu tim UAV, otomatis saya bersama mas
Adon dan 2 teknisi UAV, harus ikut ke atas bukit. Saya pikir lokasinya sangat
mudah dicapai. Namun, di luar perkiraan, jalan yang dilalui, sangatlah terjal.
Aspal sih, tapi aspal jebol yang tinggal kerikil kerikil tajam. Bahkan, ada
titik dimana jalan patah sekitar 30cm. Degdegserrr, itu yang saya rasakan. Inget
banget, kami berjalan di tepi jurang yang apabila sopir tak tangguh, siap siap
saja terjun. Doa selalu saya panjatkan dalam perjalanan agar diberikan
keselamatan. Dan bersyukur, sampai dilokasi penerbangan UAV dengan selamat.
Semua komponen pesawat pun segera dirakit. Melihat kondisi awan yang cukup
bersahabat di sisi utara, memungkinkan untuk dilakukan penerbangan UAV. Namun sekitar 10 menit
setelahnya, awan mendung kembali datang. Kami tetap mencoba menerbangkan
pesawat pada jalur terbang yang telah dibuat. Setelah terbang selama 30 menit,
UAV pun turun. Kami lihat hasilnya, ternyata tidak memuaskan. Kejar-kejaran
dengan cuaca, Pak Ruli pun memutuskan untuk melakukan pengukuran GCP terlebih
dahulu. Saya harus jalan kaki turun ke bawah sekitar 200m untuk mencapai titik
GCP. Sementara Mas Adon dan 2 teknisi UAV tetap berada di atas untuk mencoba
kemungkinan UAV terbang lagi. Sama seperti metode yang digunakan saat hari
pertama, pengukuran GCP pun selesai dalam waktu 1 jam. Sesuai ketentuan
ketelitian yang ingin dicapai. Di lokasi pengukuran tersebut, saya pun kembali
mengobrol. Kali ini dengan penduduk yang menjadi korban longsoran bencana. Saya
dengan berpakaian lapangan lengkap, pun ditanya oleh Pak Slamet, “Mas, bukit
ini akan longsor lagi nggak ya? Mas, ini kenapa bisa kayak gini ya?” beliau
yang terlihat masih trauma dengan bencana yang telah terjadi menanyakan dengan
penuh penasaran. Mungkin melihat saya sebagai orang geodesi, bapak itu yakin
menanyakan hal ini kepada saya. Yah…saya pun jawab sesuai pengetahuan yang tak
punya. “Pak, sekitar 50m dari jalan ini, bapak bisa lihat di sana ada patahan
di jalan, itu terjadi karena ada pergeseran yang kemungkinan disebabkan oleh
longsoran yang ada di bawah. Kalau ditanya masih mungkin ada longsor atau
tidak, tentunya masih pak, melihat tipe tanah yang memang labil dan curah hujan
yang cukup tinggi serta pohon yang bukan tipe tanaman penahan air dan tanah.” Itu jawaban yang coba aku berikan kepada Pak
Slamet. Mencoba menjelaskan agar mudah dipahami orang awam adalah hal yang sangat
diperlukan. Setelah itu, saya juga coba menanyakan tentang kronologi kejadian
bencana yang telah terjadi. “Pak, ini bagaimana ceritanya bencana ini bisa
terjadi?” tanyaku. “Ini terjadi sekitar pukul 17.30WIB pada hari Jumat 15
Desember kemarin mas. Sebelum kejadian ada semacam suara ledakan. Lalu longsor,
lalu ada api yang menyembul ke atas dan kepulan asap muncul dari lokasi
kejadian.” Ini satu peristiwa pertama kali yang saya ketahui bahwa longsoran
diikuti jilatan api ke langit dan kepulan asap. Ketika saya lanjut tanya kenapa
bisa seperti itu, bapaknya juga bingung. Itulah obrolan manakala pengukuran
berlangsung. Nah, setelah pengukuran selesai, kami pun kembali ke bawah.
Bergabung kembali dengan tim yang tadi berada di lokasi bencana. Namun
pemotretan udara kembali ditunda dikarenakan cuaca yang sekali lagi kurang
bersahabat.
Jalan yang patah
Jalur terbang pesawat UAV
Hasil pemotretan 1
Hasil pemotretan 2
Hasil pemotretan 3
Kami
menuju Kota Banjarnegara untuk berdiskusi sembari mengisi perut. Di sana kami
berdiskusi tentang pemotretan udara yang akan berlangsung. Target hari Jumat
selesai pengambilan data pun harus mundur. Sementara saya, Sapta, Mas Adon, dan
Pak Iqbal harus ada di Jogja malam harinya. Akhirnya kami berempat pun harus mendahului
kembali ke Jogja. Sementara Pak Ruli dan 2 teknisi UAV yang akan melanjutkan
pemotretan udara pada hari Sabtunya.
Sedikit
hal unik terjadi di pengalaman pertamaku ini terjun di lokasi bencana. Diceritakan
Sapta, “Ndan, tadi aku naik eskafator untuk melewati jalan yang kemarin putus.
Hahaha”. Kevin juga bilang, “Eskafator kok bego sih. Bego gitu namanya.
Hahahaha”. Kami tertawa…yah Kevin orang Sumatera dan Sapta orang Bali yang
belum tahu semua kosakata bahasa Jawa.
Sebuah
pengalaman yang luar biasa yang saya dapatkan dari 3 hari berada di
Banjarnegara ini. Suasana alam yang begitu indah menyertai lokasi bencana ini.
Begitu ramahnya penduduk. Diperlihatkan juga bagaimana tolong menolong begitu
terasa, tanpa melihat apa golonganmu. Penuh ikhlas dilakukan. Tapi ya inilah
kuasa Tuhan. Tidak ada yang tahu kapan terjadi bencana. Yang bisa manusia
lakukan adalah rasa kebersamaan yang tanpa batas dan tolong menolong penuh ikhlas.
J
Berikut
hasil dari pengolahan data titik GCP dan pemotretan udara yang telah dilakukan
dari Tim Teknik Geodesi UGM:
- Visualisasi orthophoto area longsor
dengan GSD 20cm
- Jika area tsb diplot ke Google
Earth, ini kenampakannya
- Dari data foto yg bertampalan
(stereo) bisa digenerate kontur dan DEM nya.
- Dari data DEM yg terbentuk, bisa di
ekstrak profil melintang pada area longsor. Bisakah anda melihat brp tinggi
area (tebing yg longsor)?. Jika kita punya data DEM
sebelum longsor, kita bisa prediksi brp volume tanah yg longsor
- Visualisasi orthophoto area longsor
dengan GSD 20cm
- Overlay DEM dgn orthophoto bs dibuat
model 3Dnya. Bs dibuat dalam format KML dan dibuka di Google Earth
- Hasil akhir bisa didownload di https://simpan.ugm.ac.id/public.php?service=files&t=4b0ac254763519b8d866c574426ce559
Yogyakarta, 8 Januari 2015
Bondan Galih Dewanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar