Kamis, 27 Maret 2014

Senyum Matahari sebagai Harapan

Sebuah perasaan yang tak terkira apabila kita dapat mencapai tujuan yang ingin kita gapai. Tentunya bisa pula kita terapkan dalam segala aspek kehidupan. Termasuk mencapai puncak gunung yang sedang kita daki merupakan sebuah tantangan untuk jiwa dan fisik kita.
28 Januari 2014 merupakan hari yang cukup menyenangkan menurutku setelah beberapa hari sebelumnya merencanakan tentang pendakian ini. Bersama Berlian, Fendi, Zufri, Ihza, dan Ardha saya melakukan pendakian ke Gunung Sumbing yang terletak di Kabupaten Temanggung, Wonosobo, dan Magelang.  Satu hal yang sedikit menjadi penyesalan adalah salah satu teman kami, Habib Nurrochim yang awalnya ada rencana buat mendaki, namun karena mengalami kecelakaan dan mengalami kritis, tidak jadi ikut. Sehingga tujuan kami melakukan pendakian ini adalah untuk memotivasi temanku itu yang sedang sakit agar cepat sembuh. 
Satu hari sebelumnya, 27 Januari 2014 kami bersepakat untuk bermalam di kontrakan Berlian guna memantapkan persiapan bersama-sama di kontrakan Berlian. Semua hal dari sleeping bag, konsumsi, obat hingga jaket dan sepatu dengan rapi kami siapkan. Tak lupa kami semua meminta ijin kepada orangtua untuk melakukan pendakian, termasuk orangtuaku. Apalagi mengingat cuaca yang cukup ekstrim pada saat itu. Orangtuaku memberikan lampu hijau. Begitu pula dengan kelima temanku. 
Keesokan harinya, sebelum kami berangkat ke basecamp,  aku mendapatkan telpon dari orang tua yang isinya melarang aku untuk melakukan pendakian. Alasannya  cuaca yang begitu ekstrim, ramalan cuaca pula yang nggak bersahabat, dan kekawatiran yang diakibatkan oleh berita miring pendakian di musim hujan. Kecewa sih...seius...kecewa. Langsung kami melakukan diskusi untuk menentukan apakah akan terus melakukan pendakian atau tidak. Dengan kesepakatan bersama, akhirnya kami tetap melakukan pendakian, dengan ijin kembali dan meyakinkan orangtua bahwa akan baik-baik saja. 
Perjalanan dimulai pada pukul 08.00 WIB. Di tengah jalan, sempat turun hujan yang sangat deras, diikuti gemuruh petir yang kian menjadi. Namun keinginan untuk terus masih sangat tinggi. Di sepanjang perjalanan, keindahan kota dan alam kami lewati, hingga kami tiba di basecamp pendakian sekitar pukul 12.00 WIB. Cuaca cukup baik saat itu, namun tak lama setelah kami tiba di basecamp, hujan yang cukup deras datang kembali, serta kabut yang cukup tebal. Sesekali matahari menampakkan keelokannya yang seolah memberikan kami harapan baru. Dengan cuaca seperti ini, membuat keyakinan melanjutkan pendakian mulai goyah. Satu di antara temanku, Zufri, selalu mempunyai semangat untuk melanjutkan perjalanan, dan selalu berusaha meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Dan dengan berbagai pertimbangan, kami pun akhirnya melanjutkan perjalanan pada pukul 14.30 WIB.





Perjalanan melewati sedikit jalan aspal, dan kemudian sekitar 1 jam untuk melalui jalan berbatu yang tertata rapi. Kanan kiri jalan terdapat perkebunan sayur mayur yang membuat kami seakan ingin mencicipi. Pemandangan indah pun seolah menyambut kami di Gunung Sumbing. Selama perjalanan, tak ada keinginan untuk istirahat mendirikan tenda lebih awal. Cuaca yang awalnya bersahabat, sedikit demi sedikit berubah. Mendung mulai muncul, kabut terus berada di hadapan kami, matahari yang timbul tenggelam. Namun, setelah perjalanan 3 jam hujan lebat pun datang. Kami langsung bergegas mengenakan mantel dan melanjutkan perjalanan. Selama kurang lebih kami berjalan setengah jam, kami terus berdoa agar hujan segera reda. Jalan yang licin dan terjal seakan bukan penghalang bagi kami. Namun ketika cahaya matahari mulai hilang dan berganti gelap, kami berpikir ulang untuk melanjutkan perjalanan guna menjaga keselamatan. Ya...namanya saja belum ada yang pernah ke sini sebelumnya, sehingga tidak berani menerka situasi alam selanjutnya. Hal ini membuat kami memutuskan untuk mendirikan tenda lebih awal di sebuah area sempit yang belum diketahui namanya. Musik dari telepon genggam teman seakan menjadi penghilang kecewa kami karena harus ngecamp lebih awal. Ditemani pula oleh sajian mie instan panas, roti tawar, dan kopi panas yang menghangatkan tubuh kami. Canda tawa juga ada ketika kami berlima mengobrol. Bukan hal yang aneh, karena kami berasal dari SMA yang sama, hehe. Setelah merasa badan capai, akhirnya kami pun tidur. Dan berharap esok hari cuaca akan tersenyum pada kami.
Pukul 05.00 WIB, kami terbangun. Dengan kondisi luar tenda yang masih gerimis. Hmmmm, membuat kami tak yakin untuk melanjutkan perjalanan. Perasaan negatif itu hilang ketika gerimis reda dan matahari menampakkan senyumnya. Kami segera keluar tenda dan menikmati alam raya ini ditemani pula oleh mie instan, kopi panas, dan susu panas. Hmmmm, bersyukur adalah hal yang paling segera aku lakukan ketika melihat indahnya alam ini.



Pukul 07.30 WIB kami melanjutkan perjalanan. Dan ternyata tak jauh dari tempat camp, kami menemukan pos pestan, yang menghubungkan antara jalur pendakian lama dan baru. Sedikit penyesalan kenapa kami tidak mendirikan di pos yang luas ini, daripada mendirikan di sebuah tenda dan tidur berdesakan. Ya...yang namanya mengutamakan keselamatan. Sekitar 1 jam dari pestan, kami sampai di pos pasar watu, yang sepanjang jalan ini terdapat batu besar dan kecil yang bisa saja membahayakan kami jika tidak hati-hati. Sesekali kami harus merayap akibat track yang cukup terjal. Jurang juga sering ditemukan. Dengan keyakinan tinggi kami melanjutkan perjalanan. 
















Sampai akhirnya kami sampai di tanah putih, tempat yang sebenarnya tak jauh dari puncak. Kata teman-teman yang pernah mendaki, 1 jam saja kami mendaki sudah sampai puncak. Itu yang membuat kami semakin merasa bersemangat. Walau kabut masih terus dihadapan muka, kami tetap merasa sanggup untuk mencapai puncak. Sesekali matahari memberikan senyumnya seakan memberikan harapan pada kami bahwa kami pasti bisa. Hal itu pun membuat kami yakin. Namun sekitar pukul 14.00 WIB, hujan masih saja menghampiri kami. Tak hanya hujan, angin cukup kencang pun mendatangi kami. Kami masih berusaha membaca alam. Apakah memungkinkan untuk tetap jalan tau tidak. Setengah jam kami berjalan, belum nampak pula puncak yang kami cari. Ketika mengintip di balik bukit masih saja ada bukit. Perasaan was-was menghampiri kami. Perasaan kawatir dengan cuaca. Hujan angin dan petir seakan tak mau berhenti. Sementara perbekalan menipis juga menjadi fakta kali ini. 2 pilihan pun datang, memilih melanjutkan perjalanan dengan cuaca yang belum pasti dan perbekalan yang menipis atau menghentikan perjalanan dan kembali dengan hati-hati. Pukul 15.00 kami berdiskusi. Haruskah kami menghentikan perjalanan ini? harus mengedepankan realistis atau egois? perfectionis yang ada di dalam diri saya seolah mendorong saya untuk meneruskan perjalanan. Tapi rasa melankolis juga seakan menghadang niatan untuk lanjut. Kemudian aku juga tiba-tiba teringat pesan orangtua bahwa jangan memaksakan kehendak hati tanpa realistis. Harus mengerem egoku dan teman-temanku. Di dalam diskusi tadi pun terjadi sedikit perdebatan dalam pengambilan keputusan. Mayoritas berpikir lebih mementingkan keselamatan dahulu. Sementara itu ada juga temanku yang masih ingin melanjutkan perjalanan. Sekali lagi, apakah ego atau realistis yang harus dikedepankan? Sehingga pada akhirnya kami memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan. Dan ini adalah keputusan paling berat selama aku mendaki. Sedikit lagi sampai puncak, namun akhirnya harus berhenti ketika melihat cuaca yang tak tentu. 

Rasa kecewa dan sedih menghampiri kami. Kenapa puncak yang tak lama lagi kami jangkau harus berhenti. Namun aku juga mencoba berpikir positif dan mengingat pesan orangtua yang tak membolehkan aku mendaki untuk kali ini. Mungkin ini sebagai firasat untuk anaknya. Dan orangtua terutama bapak memang jauh lebih berpengalaman dalam melakukan pendakian. Yah.....harus legowo. Mengerem rasa egois.
Sesegera mungkin kami harus kembali ke camp. Dan butuh sekitar 2 jam bagi kami untuk kembali ke camp. Merapikan semua bawaan langsung kami lakukan, melihat cuaca yang kian tak menentu. Harus segera sampai di basecamp. Harus. Itulah yang ada dipikiran kami. 
29 Januari  2014. Butuh sekitar 3 jam perjalanan hingga kami sampai di basecamp. Rasa syukur aku panjatkan ketika bisa sampai kaki gunung dengan selamat. Bukan sesuatu yang gampang, karena harus sangat hati-hati melewati jalan yang sangat licin, yang terkadang membuat kami tergelincir. Dan hal yang langsung aku lakukan adalah menelpon orang tua. Permohonan maaf aku sampaikan karena telah membantah nasehat orangtua. Aku mengabarkan bahwa aku baik-baik saja, seraya orangtuaku terus memantau cuaca melalui berita di tv. Hmmmm, besok lagi harus manut orangtua, karena bisa saja perkataan orangtua adalah peringatan Tuhan yang disampaikan melaluinya. 
Dua hal yang saya dapatkan dari pendakian ini adalah harus realistis ketika membaca situasi alam dan tidak mengedepankan ego. Apalagi teman saya yang sudah rutin melakukan pendakian pun tidak berani melakukan pendakian di musim hujan. Satu hal yang lucu adalah ketika kami melihat senyum matahari seakan semangat kami membara untuk mencapai puncak, hehehe. 
Satu kata yang menghibur perasaan kecewa datang dari pendaki profesional pemanjat tebing 8000 meter dari Inggris, bernama Alan Hinkes --"No mountain is worth even a finger or a toe to frostbite. Return home is real success. Summit is only bonus". ( Tidak ada gunung yang senilai jari tangan atau kaki. Rumahlah tempat kita kembali. Puncak hanyalah bonus ).
Aku dan teman-temanku sepakat untuk melakukan pendakian ke Gunung Sumbing kembali pada saat cuaca bersahabat. Karena memang indah pemandangan alam yang disajikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan tak lupa kami doakan sahabat kami, Habib Nurrochim agar segera sembuh dan bisa beraktivitas seperti biasa. Salam hangat dari Indonesia :-)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar