Kamis, 19 Februari 2015

Analisa Perubahan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir


Di Indonesia telah diatur mengenai pengelolaan wilayah pesisir. Undang-Undang terbaru yang mengatur tentang hal ini adalah UU No.1 Tahun 2014. Sebelum UU tersebut terbit, ada UU No. 27 Tahun 2007 yang juga mengatur tentang pengelolaan wilayah pesisir. Jadi UU No.1 Tahun 2014 bertujuan untuk mengatur hal-hal yang belum diatur dalam UU No. 27 Tahun 2007.


Gambar Gedung DPR
Sumber: google.com


Ketentuan yang mengalami perubahan meliputi
1.    Ketentuan Pasal 1 angka 1, angka 17, angka 18, angka 19, angka 23, angka 26, angka 28, angka 29, angka 30, angka 31, angka 32, angka 33, angka 38, dan angka 44 diubah, dan di antara angka 18 dan angka 19 disisipkan 1 (satu) angka yakni angka 18A, serta di antara angka 27 dan angka 28 disisipkan 1 (satu) angka yakni angka 27A.
Berikut analisa sederhana saya mengapa UU tersebut perlu disempurnakan.
·         Pasal 1 angka 1 UU No. 27 Tahun 2007 berbunyi : “Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat”. Sedangkan Pasal 1 angka 1 UU No. 1 Tahun 2014 berbunyi: “Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu pengoordinasian perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antarsektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat”. Analisanya adalah agar pengelolaan pesisir lebih terkoordinasi dengan baik satu sama lain mulai dari perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, hingga pengendalian. Selain itu pengelolaan wilayah pesisir wajib dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah, bukan sesuatu yang berada di antara keduanya.
·         Pasal 1 angka 17 UU No. 27 Tahun 2007 berbunyi: “Rencana Zonasi Rinci adalah rencana detail dalam 1 (satu) Zona berdasarkan arahan pengelolaan di dalam Rencana Zonasi yang dapat disusun oleh Pemerintah Daerah dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan teknologi yang dapat diterapkan serta ketersediaan sarana yang pada gilirannya menunjukkan jenis dan jumlah surat izin yang dapat diterbitkan oleh Pemerintah Daerah”. Sedangkan Pasal 1 angka 17 UU No. 1 Tahun 2014 berbunyi: “Rencana Zonasi Rinci adalah rencana detail dalam 1 (satu) Zona berdasarkan arahan pengelolaan di dalam Rencana Zonasi dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan teknologi yang diterapkan serta ketersediaan sarana yang pada gilirannya menunjukkan jenis dan jumlah surat izin yang diterbitkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah”. Analisa perubahan ini adalah agar surat izin untuk pengelolaan di dalam rencana zonasi dapat diterbitkan tidak hanya oleh Pemerintah Daerah melainkan juga Pemerintah.
·         Pasal 1 angka 18 UU No. 27 Tahun 2007 berbunyi: “Hak Pengusahaan Perairan Pesisir, selanjutnya disebut HP-3, adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu”. Sedangkan Pasal 1 angka 18 UU No. 1 Tahun 2014 berbunyi: “Izin Lokasi adalah izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang dari sebagian Perairan Pesisir yang mencakup permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu dan/atau untuk memanfaatkan sebagian pulau-pulau kecil”. Analisa perubahan ini adalah dikarenakan HP-3 dianggap bertentangan dengan UUD 1945 karena mengurangi hak Negara dalam penguasaan pengelolaan atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
·         Pasal 1 angka 19  UU No. 27 Tahun 2007 berbunyi : “Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.”. Sedangkan Pasal 1 angka 19 UU No. 1 Tahun 2014 berbunyi: “Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah upaya pelindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya”.
Tidak ada perubahan baik dari segi kata maupun susunan kata dalam kalimat.
·         Pasal 1 angka 23  UU No. 27 Tahun 2007 berbunyi : “Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase”.  Sedangkan Pasal 1 angka 23 UU No. 1 Tahun 2014 berbunyi: “Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Setiap Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase”.
Tidak ada perubahan baik dari segi kata maupun susunan kata dalam kalimat.
·         Pasal 1 angka 26  UU No. 27 Tahun 2007 berbunyi : “Bencana Pesisir adalah kejadian karena peristiwa alam atau karena perbuatan Orang yang menimbulkan perubahan sifat fisik dan/atau hayati pesisir dan mengakibatkan korban jiwa, harta, dan/atau kerusakan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil”.  Sedangkan Pasal 1 angka 26 UU No. 1 Tahun 2014 berbunyi: “Bencana Pesisir adalah kejadian karena peristiwa alam atau karena perbuatan Setiap Orang yang menimbulkan perubahan sifat fisik dan/atau hayati Pesisir dan mengakibatkan korban jiwa, harta, dan/atau kerusakan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil”. Perbedaannya adalah hanya pada kata setiap, yang pada UU No. 27 Tahun 2007 tidak ada. Hal ini bertujuan untuk penekanan bahwa bencana pesisir bisa saja dilakukan oleh masing-masing orang.
·         Pasal 1 angka 28  UU No. 27 Tahun 2007 berbunyi : “Pencemaran Pesisir adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan pesisir akibat adanya kegiatan Orang sehingga kualitas pesisir turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan pesisir tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya”.  Sedangkan Pasal 1 angka 28 UU No. 1 Tahun 2014 berbunyi: “Pencemaran Pesisir adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan Pesisir akibat adanya kegiatan Setiap Orang sehingga kualitas Pesisir turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan Pesisir tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya”. Perbedaannya adalah hanya pada kata setiap, yang pada UU No. 27 Tahun 2007 tidak ada. Hal ini bertujuan untuk penekanan bahwa pencemaran pesisir bisa saja dilakukan oleh masing-masing orang.
·         Pasal 1 angka 29  UU No. 27 Tahun 2007 berbunyi : “Akreditasi adalah prosedur pengakuan suatu kegiatan yang secara konsisten telah memenuhi standar baku sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang meliputi penilaian, penghargaan, dan insentif terhadap program-program pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat secara sukarela”.  Sedangkan Pasal 1 angka 29 UU No. 1 Tahun 2014 berbunyi: “Akreditasi adalah prosedur pengakuan suatu kegiatan yang secara konsisten telah memenuhi standar baku sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang meliputi penilaian, penghargaan, dan insentif terhadap program pengelolaan yang dilakukan oleh Masyarakat secara sukarela”. Perbedaannya adalah tidak adanya pengulangan kata program pada UU No. 1 Tahun 2014.
·         Pasal 1 angka 30  UU No. 27 Tahun 2007 berbunyi : “Pemangku Kepentingan Utama adalah para pengguna Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai kepentingan langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, seperti nelayan tradisional, nelayan modern, pembudidaya ikan, pengusaha pariwisata, pengusaha perikanan, dan Masyarakat Pesisir”.  Sedangkan Pasal 1 angka 30  UU No. 1 Tahun 2014 berbunyi: “Pemangku Kepentingan Utama adalah para pengguna Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai kepentingan langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, seperti nelayan tradisional, nelayan modern, pembudi daya ikan, pengusaha pariwisata, pengusaha perikanan, dan Masyarakat”. Analisanya adalah pemangku kepentingan utama tidak hanya untuk masyarakat pesisir, tetapi juga masyarakat pada umumnya.
·         Pasal 1 angka 31  UU No. 27 Tahun 2007 berbunyi : “Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya pemberian fasilitas, dorongan atau bantuan kepada Masyarakat Pesisir agar mampu menentukan pilihan yang terbaik dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara lestari”.  Sedangkan Pasal 1 angka 31  UU No. 1 Tahun 2014 berbunyi: “Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya pemberian fasilitas, dorongan, atau bantuan kepada Masyarakat dan nelayan tradisional agar mampu menentukan pilihan yang terbaik dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan PulauPulau Kecil secara lestari”. Alasan perubahan ini adalah agar pemberdayaan tidak hanya dilakukan pada masyarakat pesisir, tetapi juga pada masyarakat pada umumnya dan nelayan tradisional pada khususnya untuk mencapai kesejahteraan.
·         Pasal 1 angka 32  UU No. 27 Tahun 2007 berbunyi : “Masyarakat adalah masyarakat yang terdiri dari Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal yang bermukim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil”.  Sedangkan Pasal 1 angka 32  UU No. 1 Tahun 2014 berbunyi: “Masyarakat adalah masyarakat yang terdiri atas Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Lokal, dan Masyarakat Tradisional yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil”. Analisa perubahannya adalah masyarakat adat bekerja berdasarkan hukum adat sehingga ditambahkan kata hukum. Selain itu penghormatan terhadap tradisi-tradisi yang ada pada masyarakat, sehingga menambahkan masyarakat tradisional.
·         Pasal 1 angka 33  UU No. 27 Tahun 2007 berbunyi : “Masyarakat Adat adalah kelompok Masyarakat Pesisir yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum”.  Sedangkan Pasal 1 angka 33  UU No. 1 Tahun 2014 berbunyi: “Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Analisa perubahan ini adalah masyarakat hukum adat tidak hanya terdapat di wilayah pesisir, melainkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hukum adat ini tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
·         Pasal 1 angka 38  UU No. 27 Tahun 2007 berbunyi : “Orang adalah orang perseorangan dan/atau badan hukum”.  Sedangkan Pasal 1 angka 38  UU No. 1 Tahun 2014 berbunyi: “Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum”. Penekanan pada masing-masing orang serta korporasi (badan usaha) yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.
·         Pasal 1 angka 44  UU No. 27 Tahun 2007 berbunyi : “Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang kelautan dan perikanan”.  Sedangkan Pasal 1 angka 44  UU No. 1 Tahun 2014 berbunyi: “Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan”. Perubahan ini dimaksudkan agar lebih jelas bahwa menteri merupakan tangan kanan pemerintah (presiden) untuk bidang kelautan dan perikanan.
·         Terdapat peraturan baru yang terdapat pada Pasal 18A dan 27A UU No.1 Tahun 2014. Pasal 18A UU No. 1 Tahun 2014 berbunyi: “Izin Pengelolaan adalah izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil”.  Penambahan dimaksudkan untuk mendefinisikan izin pengelolaan yang akan dikeluarkan oleh Negara.
·         Pasal 27A UU No.1 Tahun 2014 berbunyi: “Dampak Penting dan Cakupan yang Luas serta Bernilai Strategis adalah perubahan yang berpengaruh terhadap kondisi biofisik seperti perubahan iklim, ekosistem, dan dampak sosial ekonomi masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan generasi yang akan datang". Penambahan dimaksudkan untuk kemungkinan terjadinya dampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis.
2.    Ketentuan ayat (1) dan ayat (7) Pasal 14 diubah
Berikut analisa sederhana saya mengapa UU tersebut perlu disempurnakan.
·         Pasal 14 ayat 1  UU No. 27 Tahun 2007 berbunyi : “Usulan penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K dilakukan oleh Pemerintah Daerah serta dunia usaha”.  Sedangkan Pasal 14 ayat 1  UU No. 1 Tahun 2014 berbunyi: “Usulan penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP- 3-K, dan RAPWP-3-K dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Masyarakat, dan dunia usaha”. Analisa perubahan ini adalah pentingnya pengakomodasian usulan dari masyarakat luas tentang RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K.
·         Pasal 14 ayat 7  UU No. 27 Tahun 2007 berbunyi : “Dalam hal tanggapan dan/atau saran sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dipenuhi, maka dokumen final perencanaan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dimaksud diberlakukan secara definitif”.  Sedangkan Pasal 14 ayat 7  UU No. 1 Tahun 2014 berbunyi: “Dalam hal tanggapan dan/atau saran sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dipenuhi, dokumen final perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dimaksud diberlakukan secara definitif”. Pada dasarnya maksud kedua kalimat tersebut sama, sehingga perubahan hanya dilakukan agar penyederhanaan kalimat saja.
3.    Judul Bagian Kesatu pada Bab V diubah
Berikut analisa sederhana saya mengapa UU tersebut perlu disempurnakan.
·         Judul Bagian Kesatu  Bab V UU No. 27 Tahun 2007 berbunyi :
Bagian Kesatu
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir

Sedangkan Judul Bagian Kesatu  Bab V  UU No. 1 Tahun 2014 berbunyi:
Bagian Kesatu
Izin
Analisa perubahan ini adalah dikarenakan HP-3 dianggap bertentangan dengan UUD 1945 karena mengurangi hak Negara dalam penguasaan pengelolaan atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sehingga judul bab ini agar Negara berdaulat atas pengelolaan wilayah pesisir dengan pemberian izin.
4.    Ketentuan Pasal 16 diubah
Berikut analisa sederhana saya mengapa UU tersebut perlu disempurnakan.
·         Pasal 16 UU No.27 Tahun 2007
(1)  Pemanfaatan perairan pesisir diberikan dalam bentuk HP-3.
(2)  HP-3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut.
·         Pasal 16 UU No. 1 Tahun 2014
(1)  Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap wajib memiliki Izin Lokasi.
(2)  Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar pemberian Izin Pengelolaan
Analisa perubahan ini adalah dikarenakan HP-3 dianggap bertentangan dengan UUD 1945 karena mengurangi hak Negara dalam penguasaan pengelolaan atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Izin lokasi ini diberikan oleh Negara.
5.    Ketentuan Pasal 17 diubah
·         Pasal 17 UU No.27 Tahun 2007
(1)  HP-3 diberikan dalam luasan dan waktu tertentu.
(2)  Pemberian HP-3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mempertimbangkan kepentingan kelestarian Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat Adat, dan kepentingan nasional serta hak lintas damai bagi kapal asing.
·         Pasal 17 UU No. 1 Tahun 2014
(1)  Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) diberikan berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
(2)  Pemberian Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mempertimbangkan kelestarian Ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, Masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan nasional, dan hak lintas damai bagi kapal asing.
(3)  Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam luasan dan waktu tertentu.
(4)  Izin Lokasi tidak dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum.
Analisa perubahan ini adalah dikarenakan HP-3 dianggap bertentangan dengan UUD 1945 karena mengurangi hak Negara dalam penguasaan pengelolaan atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.Pemberian izin berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta tidak untuk wilayah konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum.
6.    Ketentuan Pasal 18 diubah
·         Pasal 18 UU No. 27 Tahun 2007
HP-3 dapat diberikan kepada:
a.    Orang perseorangan warga negara Indonesia;
b.    Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia;
c.    Masyarakat Adat.
·         Pasal 18 UU No. 1 Tahun 2014
Dalam hal pemegang Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) tidak merealisasikan kegiatannya dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak izin diterbitkan, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Izin Lokasi.
Analisa perubahan ini adalah dikarenakan HP-3 dianggap bertentangan dengan UUD 1945 karena mengurangi hak Negara dalam penguasaan pengelolaan atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Serta adanya sanksi bagi yang tidak merealisasikan kegiatannya dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak izin diterbitkan.
7.    Ketentuan Pasal 19 diubah
·         Pasal 19 UU No. 27 Tahun 2007
(1)  HP-3 diberikan untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.
(2)  Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang tahap kesatu paling lama 20 (dua puluh) tahun.
(3)  Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (2) dapat diperpanjang lagi untuk tahap kedua sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
·         Pasal 19 UU No. 1 Tahun 2014
(1)  Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulaupulau kecil untuk kegiatan:
a.    produksi garam;
b.    biofarmakologi laut;
c.    bioteknologi laut;
d.    pemanfaatan air laut selain energi;
e.    wisata bahari;
f.     pemasangan pipa dan kabel bawah laut;
g.    pengangkatan benda muatan kapal tenggelam, wajib memiliki Izin Pengelolaan.
(2)  Izin Pengelolaan untuk kegiatan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)  Dalam hal terdapat kegiatan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang belum diatur berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Analisa perubahan ini adalah dikarenakan HP-3 dianggap bertentangan dengan UUD 1945 karena mengurangi hak Negara dalam penguasaan pengelolaan atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.Tidak ada lagi jangka waktu yang sangat panjang untuk izin pengelolaan. Serta diberikan secara spesifik tentang peruntukan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.
8.    Ketentuan Pasal 20 diubah
·         Pasal 20 UU No. 27 Tahun 2007
(1)  HP-3 dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak tanggungan.
(2)  HP-3 diberikan dalam bentuk sertifikat HP-3.
(3)  HP-3 berakhir karena:
a.    jangka waktunya habis dan tidak diperpanjang lagi;
b.    ditelantarkan; atau
c.    dicabut untuk kepentingan umum.
(4)  Tata cara pemberian, pendaftaran, dan pencabutan HP-3 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
·         Pasal 20 UU No. 1 Tahun 2014
(1)  Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi pemberian Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan kepada Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional.
(2)  Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional, yang melakukan pemanfaatan ruang dan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil, untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Analisa perubahan ini adalah dikarenakan HP-3 dianggap bertentangan dengan UUD 1945 karena mengurangi hak Negara dalam penguasaan pengelolaan atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.Tidak ada lagi hak pengelolaan dapat dialihkan dan dijaminkan karena tidak dapat dipertanggungjawabkan. Serta adanya kemudahan bagi masyarakat lokal dan tradisional untuk pemanfaatan ruang dan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
9.    Ketentuan Pasal 21 diubah
·         Pasal 21 UU No. 27 Tahun 2007
(1)  Pemberian HP-3 wajib memenuhi persyaratan teknis, administratif, dan operasional.
(2)  Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.    kesesuaian dengan rencana Zona dan/atau rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil;
b.    hasil konsultasi publik sesuai dengan besaran dan volume pemanfaatannya; serta
c.    pertimbangan hasil pengujian dari berbagai alternatif usulan atau kegiatan yang berpotensi merusak Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
(3)  Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.    penyediaan dokumen administratif;
b.    penyusunan rencana dan pelaksanaan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan daya dukung ekosistem;
c.    pembuatan sistem pengawasan dan pelaporan hasilnya kepada pemberi HP-3; serta
d.    dalam hal HP-3 berbatasan langsung dengan garis pantai, pemohon wajib memiliki hak atas tanah.
(4)  Persyaratan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kewajiban pemegang HP-3 untuk:
a.    memberdayakan Masyarakat sekitar lokasi kegiatan;
b.    mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat dan/atau Masyarakat lokal;
c.    memperhatikan hak Masyarakat untuk mendapatkan akses ke sempadan pantai dan muara sungai; serta
d.    melakukan rehabilitasi sumber daya yang mengalami kerusakan di lokasi HP-3.
(5)  Penolakan atas permohonan HP-3 wajib disertai dengan salah satu alasan di bawah ini:
a.    terdapat ancaman yang serius terhadap kelestarian Wilayah Pesisir;
b.    tidak didukung bukti ilmiah; atau
c.    kerusakan yang diperkirakan terjadi tidak dapat dipulihkan.
(6)  Pemberian HP-3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pengumuman secara terbuka.
·         Pasal 21 UU No. 1 Tahun 2014
(1)  Pemanfaatan ruang dan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil pada wilayah Masyarakat Hukum Adat oleh Masyarakat Hukum Adat menjadi kewenangan Masyarakat Hukum Adat setempat.
(2)  Pemanfaatan ruang dan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan nasional dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Analisa perubahan ini adalah dikarenakan HP-3 dianggap bertentangan dengan UUD 1945 karena mengurangi hak Negara dalam penguasaan pengelolaan atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Penguatan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat yang ada di wilayah pesisir yang tidak mengurangi kewenangan negara.
10. Ketentuan Pasal 22 diubah
·         Pasal 22 UU No. 27 Tahun 2007
HP-3 tidak dapat diberikan pada Kawasan Konservasi, suaka perikanan, alur pelayaran, kawasan pelabuhan, dan pantai umum.
·         Pasal 22 UU No. 1 Tahun 2014
(1)  Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 19 ayat (1) dikecualikan bagi Masyarakat Hukum Adat.
(2)  Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan pengakuannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)  ketentuan peraturan perundang-undangan.
Analisa perubahan ini adalah dikarenakan HP-3 dianggap bertentangan dengan UUD 1945 karena mengurangi hak Negara dalam penguasaan pengelolaan atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Penguatan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat yang ada di wilayah pesisir yang tidak mengurangi kewenangan negara.
11. Di antara Pasal 22 dan Pasal 23 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 22A, Pasal 22B, dan Pasal 22C sehingga berbunyi sebagai berikut:
·         Pasal 22A UU No. 1 Tahun 2014
Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) diberikan kepada:
a.    orang perseorangan warga negara Indonesia;
b.    korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau
c.    koperasi yang dibentuk oleh Masyarakat.
·         Pasal 22B UU No. 1 Tahun 2014
Orang perseorangan warga Negara Indonesia atau korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan koperasi yang dibentuk oleh Masyarakat yang mengajukan Izin Pengelolaan harus memenuhi syarat teknis, administratif, dan operasional.
·         Pasal 22C UU No. 1 Tahun 2014
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat, tata cara pemberian, pencabutan, jangka waktu, luasan, dan berakhirnya Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penambahan ini agar setiap orang sebagai WNI dan korporasi baik berbadan hukum maupun tidak, berhak untuk mendapatkan izin lokasi dan izin pengelolaan.
12. Ketentuan Pasal 23 diubah
·         Pasal 23 UU No. 27 Tahun 2007
(1)  Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomis secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya.
(2)  Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan berikut:
a.    konservasi;
b.    pendidikan dan pelatihan;
c.    penelitian dan pengembangan;
d.    budidaya laut;
e.    pariwisata;
f.     usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari;
g.    pertanian organik; dan/atau
h.    peternakan.
(3)  Kecuali untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan pengembangan, pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya wajib:
a.    memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan; memperhatikan kemampuan sistem tata air setempat; serta
b.    menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.
(4)  Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan memenuhi persyaratan pada ayat (3) wajib mempunyai HP-3 yang diterbitkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
(5)  Untuk pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya yang telah digunakan untuk kepentingan kehidupan Masyarakat, Pemerintah atau Pemerintah Daerah menerbitkan HP-3 setelah melakukan musyawarah dengan Masyarakat yang bersangkutan. 
(6)  Bupati/walikota memfasilitasi mekanisme musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7)  Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya oleh Orang asing harus mendapat persetujuan Menteri.
·         Pasal 23 UU No. 1 Tahun 2014
(1)  Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomis secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya.
(2)  Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk kepentingan sebagai berikut:
a.    konservasi;
b.    pendidikan dan pelatihan;
c.    penelitian dan pengembangan;
d.    budi daya laut;
e.    pariwisata;
f.     usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari;
g.    pertanian organik;
h.    peternakan; dan/atau
i.      pertahanan dan keamanan negara.
(3)  Kecuali untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya wajib:
a.    memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan;
b.    memperhatikan kemampuan dan kelestarian sistem tata air setempat; dan
c.    menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.
Analisa perubahan ini adalah dikarenakan HP-3 dianggap bertentangan dengan UUD 1945 karena mengurangi hak Negara dalam penguasaan pengelolaan atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Prioritas pemanfaatan pulau-pulau kecil juga diperuntukkan guna pertahanan dan keamanan Negara.
13. Di antara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 26A sehingga berbunyi sebagai berikut:
·         Pasal 26A UU No. 1 Tahun 2014
(1)  Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing harus mendapat izin Menteri.
(2)  Penanaman modal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengutamakan kepentingan nasional.
(3)  Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapat rekomendasi dari bupati/wali kota.
(4)  Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 
a.    badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas;
b.    menjamin akses publik;
c.    tidak berpenduduk;
d.    belum ada pemanfaatan oleh Masyarakat Lokal;
e.    bekerja sama dengan peserta Indonesia;
f.     melakukan pengalihan saham secara bertahap kepada peserta Indonesia;
g.    melakukan alih teknologi; dan
h.    memperhatikan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi pada luasan lahan.
(5)  Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan saham dan luasan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf f dan huruf h diatur dengan Peraturan Presiden.
Penambahan dilakukan guna mengakomodasi peluang investasi bagi modal asing yang ingin menanamkan modal di pulau-pulai kecil dan perairan di sekitarnya dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional melalui syarat-syarat yang cukup ketat.
14. Ketentuan Pasal 30 diubah
·         Pasal 30 UU No. 27 Tahun 2007
Perubahan status Zona inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 untuk kegiatan eksploitasi yang dapat menimbulkan dampak besar dilakukan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
·         Pasal 30 UU No. 1 Tahun 2014
(1)  Perubahan peruntukan dan fungsi zona inti pada kawasan konservasi untuk eksploitasi ditetapkan oleh Menteri dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.
(2)  Menteri membentuk Tim untuk melakukan penelitian terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur-unsur kementerian dan lembaga terkait, tokoh masyarakat, akademisi, serta praktisi perikanan dan kelautan.
(3)  Perubahan peruntukan dan fungsi zona inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berDampak Penting dan Cakupan yang Luas serta Bernilai Strategis, ditetapkan oleh Menteri dengan persetujuan DPR.
(4)  Tata cara perubahan peruntukan dan fungsi zona inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Analisanya adalah perubahan peruntukan dan fungsi zona inti agar tidak diselewengkan. Sehingga perlu penetapan dan persetujuan menteri setelah diteliti secara terpadu oleh kementrian dan lembaga terkait, tokoh masyarakat, akademisi, serta praktisi perikanan dan kelautan.
15. Ketentuan Pasal 50 diubah
·         Pasal 50 UU No. 27 Tahun 2007
(1)  Menteri berwenang memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir lintas provinsi dan Kawasan Strategis Nasional Tertentu.
(2)  Gubernur berwenang memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir sampai dengan 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan, dan Perairan Pesisir lintas kabupaten/kota.
(3)  Bupati/walikota berwenang memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir 1/3 (satu pertiga) dari wilayah kewenangan provinsi.
·         Pasal 50 UU No. 1 Tahun 2014
(1)  Menteri berwenang memberikan dan mencabut Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) di wilayah Perairan Pesisir dan pulau-pulau kecil lintas provinsi, Kawasan Strategis Nasional, Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan Kawasan Konservasi Nasional.
(2)  Gubernur berwenang memberikan dan mencabut Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) di wilayah Perairan Pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai dengan kewenangannya.
(3)  Bupati/wali kota berwenang memberikan dan mencabut Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) di wilayah Perairan Pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai dengan kewenangannya.
Analisa perubahan ini adalah dikarenakan HP-3 dianggap bertentangan dengan UUD 1945 karena mengurangi hak Negara dalam penguasaan pengelolaan atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Penambahan wilayah konservasi nasional pada kewenangan menteri. Yang dimaksud dengan "kawasan konservasi nasional" adalah Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil yang pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah.
16. Ketentuan Pasal 51 diubah
·         Pasal 51 UU No. 27 Tahun 2007
(1)  Menteri berwenang menetapkan:
a.    HP-3 di Kawasan Strategis Nasional Tertentu,
b.    Ijin pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil yang menimbulkan dampak besar terhadap perubahan lingkungan, dan
c.    Perubahan status Zona inti pada Kawasan Konservasi Perairan nasional.
(2)  Penetapan HP-3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan setelah memperhatikan pertimbangan DPR.
(3)  Tata cara penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
·         Pasal 51 UU No. 1 Tahun 2014
(1)  Menteri berwenang:
a.    menerbitkan dan mencabut izin pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya yang menimbulkan Dampak Penting dan Cakupan yang Luas serta Bernilai Strategis terhadap perubahan lingkungan; dan
b.    menetapkan perubahan status zona inti pada Kawasan Konservasi Nasional.
(2)  Ketentuan mengenai tata cara penerbitan dan pencabutan izin serta perubahan status zona inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Analisa perubahan ini adalah dikarenakan HP-3 dianggap bertentangan dengan UUD 1945 karena mengurangi hak Negara dalam penguasaan pengelolaan atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Penetapan perubahan status zona inti pada kawasan konservasi nasional juga menjadi wewenang menteri.
17. Ketentuan Pasal 60 diubah
·         Pasal 60 UU No. 27 Tahun 2007
(1)  Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat mempunyai hak untuk:
a.    memperoleh akses terhadap perairan yang telah ditetapkan HP-3;
b.    memperoleh kompensasi karena hilangnya akses terhadap Sumber Daya Pesisir dan PulauPulau Kecil yang menjadi lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan akibat pemberian HP-3 sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c.    melakukan kegiatan pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
d.    memperoleh manfaat atas pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
e.    memperoleh informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
f.     mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang atas kerugian yang menimpa dirinya yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil;
g.    menyatakan keberatan terhadap rencana pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu;
h.    melaporkan kepada penegak hukum atas pencemaran dan/atau perusakan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya;
i.      mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya; serta
j.      memperoleh ganti kerugian.
(2)  Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berkewajiban:
a.    memberikan informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
b.    menjaga, melindungi, dan memelihara kelestarian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
c.    menyampaikan laporan terjadinya bahaya, pencemaran, dan/atau perusakan lingkungan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
d.    memantau pelaksanaan rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dan/atau
e.    melaksanakan program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang disepakati di tingkat desa.
·         Pasal 60 UU No. 1 Tahun 2014
(1)  Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil, Masyarakat mempunyai hak untuk:
a.    memperoleh akses terhadap bagian Perairan Pesisir yang sudah diberi Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan;
b.    mengusulkan wilayah penangkapan ikan secara tradisional ke dalam RZWP-3-K;
c.    mengusulkan wilayah Masyarakat Hukum Adat ke dalam RZWP-3-K;
d.    melakukan kegiatan pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e.    memperoleh manfaat atas pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
f.     memperoleh informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
g.    mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang atas kerugian yang menimpa dirinya yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
h.    menyatakan keberatan terhadap rencana pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu;
i.      melaporkan kepada penegak hukum akibat dugaan pencemaran, pencemaran, dan/atau perusakan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya;
j.      mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya;
k.    memperoleh ganti rugi; dan
l.      mendapat pendampingan dan bantuan hukum terhadap permasalahan yang dihadapi dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)  Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berkewajiban:
a.    memberikan informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
b.    menjaga, melindungi, dan memelihara kelestarian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
c.    menyampaikan laporan terjadinya bahaya, pencemaran, dan/atau kerusakan lingkungan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
d.    memantau pelaksanaan rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dan/atau
e.    melaksanakan program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang disepakati di tingkat desa.
Analisa perubahan ini adalah dikarenakan HP-3 dianggap bertentangan dengan UUD 1945 karena mengurangi hak Negara dalam penguasaan pengelolaan atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
18. Ketentuan ayat (2) Pasal 63 diubah
·         Pasal 63 angka 2 UU No. 27 Tahun 2007
Pemerintah wajib mendorong kegiatan usaha Masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berdaya guna dan berhasil guna.
·         Pasal 63 angka 2 UU No. 1 Tahun 2014
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban mendorong kegiatan usaha Masyarakat melalui peningkatan kapasitas, pemberian akses teknologi dan informasi, permodalan, infrastruktur, jaminan pasar, dan aset ekonomi produktif lainnya.
Analisa perubahan ini adalah agar pemerintah daerah juga memiliki kewajiban. Serta penspesifikan berdaya guna dan berhasil guna dalam bentuk peningkatan kapasitas, pemberian akses teknologi dan informasi, permodalan, infrastruktur, jaminan pasar, dan aset ekonomi produktif lainnya.
19. Ketentuan Pasal 71 diubah
·         Pasal 71 UU No. 27 Tahun 2007
(1)  Pelanggaran terhadap persyaratan sebagaimana tercantum di dalam HP-3 dikenakan sanksi administratif.
(2)  Sanksi administratif sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) berupa peringatan, pembekuan sementara, denda administratif, dan/atau pencabutan HP-3.
(3)  Ketentuan lebih lanjut mengenai denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
·         Pasal 71 UU No. 1 Tahun 2014
(1)  Pemanfaatan ruang dari sebagian Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil yang tidak sesuai dengan Izin Lokasi yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2)  Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa peringatan, pembekuan sementara, dan/atau pencabutan Izin Lokasi.
(3)  Pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang tidak sesuai dengan Izin Pengelolaan yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(4)  Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
a.    peringatan tertulis;
b.    penghentian sementara kegiatan;
c.    penutupan lokasi;
d.    pencabutan izin;
e.    pembatalan izin; dan/atau
f.     denda administratif.
(5)  Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Analisa perubahan ini adalah dikarenakan HP-3 dianggap bertentangan dengan UUD 1945 karena mengurangi hak Negara dalam penguasaan pengelolaan atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Serta memberikan apa-apa saja yang dimaksud dengan sanksi administratif.
20. Ketentuan Pasal 75 diubah
·         Pasal 75 UU No. 27 Tahun 2007
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) setiap Orang yang karena kelalaiannya:
a.    melakukan kegiatan usaha di Wilayah Pesisir tanpa HP-3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1); dan/atau
b.    tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4).
·         Pasal 75 UU No. 1 Tahun 2014
Setiap Orang yang memanfaatkan ruang dari sebagian Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil yang tidak memiliki Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Analisa perubahan ini adalah dikarenakan HP-3 dianggap bertentangan dengan UUD 1945 karena mengurangi hak Negara dalam penguasaan pengelolaan atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Serta penambahan hukuman baik berupa materi maupun lama kurungan penjara yang dimaksudkan agar membuat setiap orang jera dan tidak ingin melakukan pelanggaran.
21. Di antara Pasal 75 dan Pasal 76 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 75A sehingga berbunyi sebagai berikut:
·         Pasal 75A UU No. 1 Tahun 2014
Setiap Orang yang memanfaatkan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang tidak memiliki Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Penambahan dimaksudkan untuk mengakomodasi pelanggaran terhadap izin pengelolaan yang belum tercantum dalam UU No. 27 Tahun 2007.
22. Di antara Pasal 78 dan Pasal 79 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 78A dan Pasal 78B sehingga berbunyi sebagai berikut:
·         Pasal 78A UU No. 1 Tahun 2014
Kawasan konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan sebelum Undang-Undang ini berlaku adalah menjadi kewenangan Menteri.
·         Pasal 78B UU No. 1 Tahun 2014
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, izin untuk memanfaatkan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang telah ada tetap berlaku dan wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun.
Penambahan ini dimaksudkan agar segala sesuatu yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya perariran pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang telah ada wajib menyesuaikan dengan UU No. 1 Tahun 2014 paling lama 3 tahun. Serta Kewenangan menteri untuk kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah ditetapkan sebelum UU ini berlaku.

Penjelasan Umum Tentang Perubahan UU No. 27 Tahun 2014
Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tanggung jawab negara dalam melindungi rakyat Indonesia dilakukan dengan penguasaan sumber daya alam yang dimiliki oleh negara, termasuk Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil selama ini belum memberikan kewenangan dan tanggung jawab negara secara memadai atas pengelolaan Perairan Pesisir dan pulau-pulau kecil melalui mekanisme pemberian Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). Mekanisme HP-3 mengurangi hak penguasaan negara atas Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sehingga ketentuan mengenai HP-3 oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Keberadaan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sangat strategis untuk mewujudkan keberlanjutan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta meningkatkan kesejahteraan Masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun, dalam pelaksanaannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil belum memberikan hasil yang optimal. Oleh karena itu, dalam rangka optimalisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, negara bertanggung jawab atas Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam bentuk penguasaan kepada pihak lain (perseorangan atau swasta) melalui mekanisme perizinan. Pemberian izin kepada pihak lain tersebut tidak mengurangi wewenang negara untuk membuat kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudensdaad). Dengan demikian, negara tetap menguasai dan mengawasi secara utuh seluruh Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juga dilakukan dengan tetap mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat serta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mengakui dan menghormati Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat. Secara umum undang-undang ini mencakup pemberian hak kepada masyarakat untuk mengusulkan penyusunan Rencana Strategis, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan, serta Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; pengaturan mengenai Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan kepada Setiap Orang dan Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Lokal, dan Masyarakat Tradisional yang melakukan pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; pengaturan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya; serta pemberian kewenangan kepada Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Demikian analisis sederhana dari saya tentang mengapa perubahan dan penyempurnaan UU No. 27 Tahun 2007 menjadi UU No. 1 Tahun 2014 perlu dilakukan. Apabila ada salah tafsir yang dilakukan penulis, pembaca bisa memberikan komentar, karena dalam hal ini penulis masih dalam tahap pembelajaran kuliah Perencanaan Wilayah Pesisir. Sehingga pada nantinya tercipta diskusi yang membangun.

Sumber:         UU No.27 Tahun 2007
                        UU No.1 Tahun 2014
Yogyakarta, 19 Februari 2015
Bondan Galih Dewanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar