Minggu, 24 Februari 2013

Selalu Ada di Hatiku

                Di tengah-tengah rasa kangen yang mendalam, aku jadi teringat masa kecilku. Sejak dapat menikmati televisi, entah umur berapa dulu, aku mulai bisa menceritakan kepada teman-teman tentang apa yang aku tonton. Termasuk sekarang, aku ingin menceritakan satu diantaranya.

             17 Agustus. Aku agak lupa tahunnya berapa, yang kutahu saat itu aku masih kecil. Seperti menjadi sebuah kebiasaan, keluargaku setiap tahun di hari itu, pasti menyempatkan diri untuk melihat upacara Hari Kemerdekaan Indonesia di Istana Negara, Jakarta, melalui televisi. Aku diberi tahu bahwa 17 Agustus adalah Hari Kemerdekaan Indonesia. Layaknya anak kecil yang ingin tahu, aku pun banyak bertanya kepada orangtuaku. Dari menanyakan Agustus itu apa sampai merdeka itu apa, termasuk siapa yang memakai pakaian putih dengan lambang garuda di pecinya.
             Kemudian, bapakku menjelaskan beberapa hal yang kutanyakan itu. Sedikit lebih panjang saat menjelaskan putra-putri yang memakai seragam putih berlambangkan pin garuda di pecinya. Bapakku menjelaskan bahwa itu hanyalah anak-anak pilihan yang bisa memakai seragam putih dengan pin garuda di pecinya. Anak-anak itu adalah anak-anak yang cinta Indonesia , kata beliau. Aku yang  masih belum mengerti makna “pilihan”, dari penjelasan bapak, aku hanya bisa mengangguk saja. Tapi saat itu, keluar kalimat dari mulutku, “Bapak, aku pengen jadi itu, pengen pakai garuda di peci, aku juga pengen pegang kain yang warnanya merah putih itu di istana negara.” Bapakku tersenyum, dan menjawab, “Ya le...besok kalau kamu udah besar.” Akupun langsung loncat-loncat, senang sekali mendengar bapak yang mengiyakan perkataanku. Ibu dan kakakku pun saat itu tersenyum, sayangnya adikku belum dapat berkomentar karena memang belum lahir di dunia.
               Saat aku kelas 4 SD, aku mendapat informasi dari salah satu guruku jika di sekolahku, SD N Wonosari V, ada latihan baris-berbaris. Banyak sekali teman-temanku yang antusias ingin mengikuti kegiatan tersebut, termasuk aku. Sekolahku mempersiapkan ini untuk mengikuti perlombaan baris-berbaris tingkat kabupaten di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tetapi, mungkin karena aku yang belum terlalu mengerti setiap gerakan yang dilakukan, maka aku tak diikutkan dalam lomba itu. Setauku, memang yang mengikuti lomba itu sebagian besar adalah murid kelas 5 dan 6.
          Dari pengalaman di SD, aku membawanya ke SMP, SMP N 1 Wonosari. Tak jauh beda ternyata, ada seleksi yang harus dilewati sebelum bisa bergabung dengan tim baris berbaris, yang namanya adalah tonti (pleton inti). Kali ini aku nggak akan menyianyiakan kesempatan, aku harus berlatih keras untuk dapat masuk dalam anggota tonti. Setelah melalui beberapa tahap seleksi, akupun lolos, masuk menjadi salah satu anggota Pleton Inti SMP N 1 Wonosari. Di sini, aku pun menjadi bagian saat tonti SMP N 1 Wonosari, berhasil menjadi juara 1 tingkat kabupaten, dan berhak mewakili Gunungkidul di tingkat provinsi.
             Aku kembali teringat ucapanku ke keluargaku saat aku masih kecil, “Bapak, aku pengen jadi itu, pengen pakai garuda di peci, aku juga pengen pegang kain yang warnanya merah putih itu di istana negara.”  Modal yang bagus saya rasa menjadi tonti SMP ku. Namun aku juga merasa jika hal itu belum cukup. Aku harus menambah pengalaman di SMA. Lagi dan lagi, ternyata ada tahap seleksi yang harus kulalui untuk dapat masuk tonti SMA N 1 Wonosari. Banyak teman yang ingin bergabung, tapi Alhamdulillah aku lolos. Latihan demi latihan kulalui, termasuk macam-macam perlombaan baris berbaris.
           Sekitar bulan Januari 2010, aku mendapat informasi bahwa pada bulan Maret di tahun yang sama akan ada seleksi paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka). Demi mewujudkan ucapanku ke keluarga, aku berlatih dengan keras. Seleksi demi seleksi yang kulalui, mengantarkanku pada seleksi tingkat nasional.
        Pada seleksi tingkat nasional ini, aku dipertemukan dengan teman-teman  yang mewakili masing-masing kabupaten di DIY. Saat itu aku pun mulai minder, manakala mendengar tinggi badan minimal untuk dapat mengibarkan merah putih di istana negara adalah 175cm, sementara aku saat itu bertinggi badan kurang 2cm dari tinggi minimal tersebut. Apalagi dari tiap provinsi di Indonesia, hanya di ambil 2 perwakilan putra dan putri. Tapi aku tak patah semangat, tampil maksimal yang harus kulakukan. Seleksi ini berjalan 2 hari 1 malam, meliputi pengetahuan umum mengenai Indonesia, sampai pada atraksi kesenian budaya. Yang membuat aku optimis aku lolos adalah ketika seorang panitia seleksi mengatakan kepadaku, “Bondan, aku tunggu kamu di BPO.” Usut punya usut, ternyata BPO adalah tempat pembekalan calon paskibraka nasional dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.  Namun, 2 hari 1 malam adalah waktu yang cukup pendek menurutku untuk mengenal karakter setiap peserta seleksi.
         Dagdigdug rasanya menunggu pengumuman . Sampai pada akhirnya pengumuman seleksi tingkat nasional itu pun datang. Dan yang lolos dari DIY adalah..............jengjengjeng........perwakilan dari Kabupaten Sleman dan Kulonprogo. Aku ternyata belum diberi kesempatan dari Yang Maha Kuasa untuk pergi ke istana negara sebagai pengibar bendera pusaka. Aku pun harus bersiap bertugas di Gedung Agung, Yogyakarta. Ya, rasanya memang cukup sedih, tapi aku nggak boleh terlalu sedih apalagi sakit hati, karena aku yakin mengibarkan bendera di manapun kita berada, entah itu di sekolah, kabupaten, provinsi, maupun nasional adalah sama-sama demi  dan untuk Indonesia.
Gedung Agung, Daerah Istimewa Yogyakarta

        Untuk mengobati rasa kecewa, aku menelusuri seluk beluk Gedung Agung, Yogyakarta. Ternyata tempat ini pernah menjadi tempat paskibraka nasional di kala pemerintahan Republik Indonesia berpusat di Yogyakarta, tahun 1946- 1949. Rasa bangga pun menyelimuti hatiku, menutupi kesedihan ditundanya aku ke istana negara. Dalam hati aku berkata, “Aku punya kesempatan untuk dapat mengibarkan bendera pusaka di tempat yang memiliki historis tinggi bagi Republik Indonesia”.
             Saat pemusatan latihan, ada beberapa tempat yang menjadi lokasi latihan, diantaranya adalah Ambarbinangun, alun-alun selatan, dan tentunya Gedung Agung. Ketika bersama teman-teman yang lain, aku sering bertanya pada teman-teman mengenai alasan mereka ingin menjadi paskibraka. Ada yang menjawab ingin menjadi polisi. Ada juga yang menjawab ingin menjadi TNI. Aku bangga pada mereka yang menjadikan itu semua sebagai dasar sebagai pembela negara di bidang polisi dan TNI. Namun, niat awalku menjadi paskibraka adalah ini sebagai bukti bahwa aku cinta Indonesia, di masa SMA. Tak terbesit sedikitpun untuk menjadi polisi atau TNI. Aku ingin menbawa pelajaran dan pengalamanku saat pemusatan latihan ini di bidang lain. Aku ingin menjadi insinyur. Insinyur yang benar-benar mengabdikan ilmunya untuk Indonesia. Itu tujuanku.


Peta Gedung Agung, Daerah Istimewa Yogyakarta

 Aku sangat senang dapat menjadi bagian dari pasukan pengibar bendera di Provinsi DIY tahun 2010, karena aku bisa mengenal orang-orang yang selama ini belum aku kenal. Menjadi lebih tahu bahwa masih banyak orang-orang yang tulus mencintai bangsanya, Indonesia. Selain itu, senang pula bisa bertugas mengibarkan Sang Pusaka di Gedung Agung, tempat yang pernah menjadi istana negara pada tahun 4 Januari 1946 hingga 27 Desember 1949, yang memiliki historis tinggi bagi Indonesia. Dan yang pasti, Gedung Agung adalah tempat yang akan selalu ada di hatiku. Karena, ini adalah awal.

#Banyak cerita yang ada di dalam pemusatan latihan Paskibraka Provinsi DIY tahun 2010. Bagi teman-teman yang pengen tahu, bisa dibuka di link ini : http://bondangalih.blogspot.com/2013/01/kisah-indah-kita-bersama_16.html

Terima kasih, semoga bermanfaat.

24 Februari 2013
Bondan Galih Dewanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar